Rahmat Shigeru Ono, Tentara Jepang Terakhir di Indonesia
Ketika
Jepang resmi menyerah pada sekutu dalam Perang Dunia II tahun 1945, ada 324
tentara Nippon yang memilih tetap tinggal di Indonesia. Dari jumlah itu, kini
hanya tersisa satu orang saja. Namanya Shigeru Ono.
Rahmat Shigeru Ono (kanan) didampingi Noboru Nomura. |
ADA
raut kebahagiaan yang luar biasa dari air muka Shigeru Ono (95) ketika Konsul
Jenderal (Konjen) Jepang di Surabaya, Noboru Nomura beserta rombongan
berkunjung ke kediamannya di Jl Cemara Kipas 74, Kota Batu, Senin (4/11). Kebahagiaannya semakin
membuncah ketika mengetahui Ketua Yayasan Warga Persahabatan (YWP), Heru Santoso beserta rombongan YWP Jakarta
dan Surabaya spesial datang ke Kota Apel hanya untuk sowan ke rumahnya.
Untuk
diketahui, YWP merupakan organisasi yang mengayomi warga keturunan Jepang di
Indonesia. Sedangkan yang hadir dalam pertemuan santai kemarin itu adalah
generasi kedua dari keturunan tentara Jepang. Sehingga tak mengherankan, ketika
mereka semua berkumpul, suasana hangat penuh keakraban begitu terasa kental.
Sayup-sayup sering pula terdengar guyonan yang saling mereka lontarkan dalam
Bahasa Jepang.
Oleh-oleh
istimewa berupa minuman sake, sekotak rumput laut kering atau nori, kipas hias,
dan sumpit dari Nomura mampu membuat Ono tertawa lepas meski dia tak lagi bisa
menatap jelas benda-benda di sekitarnya. “Arigatou gozaimasu, saya sangat
senang sekali. Meski kondisi saya seperti ini, masih banyak yang peduli,” tutur
pria kelahiran Hokaido, 26 September 1918 ini terpatah-patah mengawali
perbincangan santai siang itu.
Kepada
seluruh tamu, pria yang juga dikenal dengan nama Sakari Ono ini mengurai kisah
hidupnya mulai saat menjadi tentara Jepang hingga saat menikmati masa tua
sekarang. Secara kasat mata, tubuh Ono memang tak lagi setegap ketika masih menjadi
tentara. Sejak tahun 2005, tongkat setinggi pinggangnya menjadi kawan setia
langkahnya. Kedua matanya juga tak lagi bisa melihat semenjak tiga tahun silam.
Sementara,
lengan kirinya memang sudah diamputasi sejak lama karena terluka saat agresi
Militer Belanda II. Kendati demikian, lantas tidak membuat Ono berdiam diri.
Meski tubuhnya melemah dimakan usia, spirit kerja keras, sifat humoris, dan
ideologi kejujuran yang dia pegang teguh tak pernah lekang oleh usia. “Waktu
tiba di Indonesia saya masih perjaka ting-ting lho. Tapi bukan untuk cari jodoh
tujuan saya tetap menetap di Indonesia. Saya murni ingin membantu Indonesia
dalam merebut kemerdekaannya,” ucap pria yang mendapat gelar kehormatan Bintang
Gerilja dari Presiden Soekarno tahun 1958 ini.
Pada
awal kedatangannya di Wlingi, Blitar, bersama ratusan kawannya, Ono menampik
bahwa tujuan tentara Jepang ke Indonesia adalah untuk menjajah. Hal itu,
berbanding berbalik dengan fakta sejarah yang diuraikan dalam buku sejarah di
sekolah. Sejatinya, pada tahun 1942, dia ditugaskan di Jabar dan Jatim untuk
melatih militer pasukan Pembela Tanah Air (PETA). Sebab, perjuangan rakyat
Indonesia kala itu belum berjalan efisien karena strategi dan persenjataan
militernya minim. Selain itu, hubungan Ono dengan semua warga Indonesia yang
dia latih diterima dengan tangan terbuka dan kedatangannya selalu di-support
oleh warga sekitar. Hubungan tersebut membuktikan bahwa tentara Jepang tidak
sekejam seperti apa yang dituliskan dalam buku sejarah.
Namun,
saat terjadi peristiwa peledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, kondisinya
mulai mencekam. Saat itu, Jepang secara resmi menyerah dengan tentara sekutu.
Alhasil, sebanyak 903 tentara Jepang yang masih tertinggal di Indonesia mengalami pergolakan tajam.
Beberapa ada yang dibunuh dan melakukan bunuh diri (harakiri). Tapi, ada pula
yang bisa kembali ke Jepang dengan selamat. “Saya sendiri memilih untuk tetap
di Indonesia. Sebab, hal ini berkaitan dengan janji dan komitmen. Sejak semula
para tentara berjanji pada kaisar Jepang untuk membantu memerdekakan
Indonesia,” ujarnya lirih.
Untuk
melaksanakan niat tulusnya itu, Ono bersama 324 tentara Jepang bergabung
bersama tentara Indonesia. Mereka masuk dalam anggota Pasukan Gerilja Istimewa
(PGI) dan berjuang bersama dalam mencapai cita-cita Indonesia Merdeka. Ono juga
mantap menjadi Warga Negara Indonesia dan merubah namanya menjadi Rahmat.
Bahkan, supaya keluarga di Jepang tidak mencarinya, dia mengirimkan potongan
rambut dan kukunya sebagai simbol supaya keluarganya mengira dia sudah gugur
dalam peperangan.
Di
Batu, Ono atau Rahmat memilih menjadi petani apel. Hanya saja pekerjaan yang
digelutinya sejak puluhan tahun lalu itu terhenti tiga tahun lalu, setelah Ono
merasa tak kuat lagi menjadi petani.
Sekitar tahun 1950, dia menikah dengan wanita
pribumi bernama Darkasi. Hingga sekarang mereka dikaruniai 9 anak, 13 cucu, dan
9 cicit. Namun, pada tahun 1982, Darkasi meninggal dunia. Patut digarisbawahi Ono menjadi satu-satunya eks
tentara Jepang yang masih hidup hingga sekarang setelah kematian Eji Miyahara
atau Umar Hartono pada 16 Oktober 2013 silam.
Eji tinggal di Jakarta. “Saya beruntung memilih tetap di Indonesia. Tapi
sayangnya saat ini banyak sekali korupsi yang dilakukan pejabat. Terus terang
saya merasa jengkel, karena kemerdekaan tidak kami rebut dengan mudah. Tolong
hargai kami para pejuang dengan melenyapkan budaya korupsi,” tandasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar